27 September 2008

Catatan Perjalanan Menembus Jantung Sulawesi




Terhimpit Motor, Nyaris Diterjang Kerbau Liar


BILA membayangkan medannya yang sangat ganas, mungkin saya perlu berpikir dan menimbang berulang-ulang kali jika suatu hari nanti ditawari atau ditugaskan lagi untuk meliput ke Seko-Rampi। Tapi karena panorama alamnya sangat menakjubkan, rasanya saya masih ingin ke sana lagi। Saya masih tertarik ke sana. Lagian, kondisi jalannya saat ini mungkin sudah relatif lebih bagus dan mudah dilewati.


Perjalanan ke Seko-Rampi memang sangat mengesankan, dan sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Karena padang rumput yang luas seperti sering kita lihat di film-film India, dan suasana seram seperti di film-film horor, ternyata memang ada di alam nyata, tidak mengada-ada.


Seko-Rampi adalah dua komunitas adat yang mendiami dataran tinggi Tokalekaju, salah satu dataran tinggi yang melintas di beberapa provinsi, di antaranya Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.


Secara administrasi pemerintahan, dua kecamatan - Seko (terdiri atas 12 desa) dan Rampi (terdiri atas 6 desa) – di jantung Sulawesi itu berada dalam wilayah Kabupaten Luwu Utara, salah satu kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Luwu di Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis, wilayah adat Seko berbatasan dengan Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Tana Toraja di sebelah selatan, Mamuju (Sulawesi Barat) di sebelah barat, dan Kecamatan Sabbang di sebelah timur.


Sedangkan wilayah adat Rampi secara geografis berbatasan dengan Bada, Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah) di sebelah utara, Kecamatan Masamba di sebelah selatan, Kecamatan Seko di sebelah barat, dan Kecamatan Mangkutana di sebelah timur.


Perjalanan ke Seko dapat dicapai dengan jalur darat dan jalur udara. Jalur darat dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menyewa ojek. Lama waktu tempuh dengan ojek sekitar 6-8 jam perjalanan, sedangkan kalau berjalan kaki bisa menghabiskan waktu 3-5 hari perjalanan.
Jalur darat terdiri atas jalur Mangkaluku dan jalur Mabusa. Jalur Mabusa jaraknya lebih pendek, hanya sekitar 67 kilometer, namun medannya sangat terjal dan berbatu serta harus melewati beberapa sungai besar dan titian kayu.


Sedangkan jalur Mangkaluku jaraknya lebih panjang, sekitar 130 kilometer, tapi medannya tidak terlalu sulit, kecuali pada musim hujan agak sulit dilewati karena tanahnya berlumpur. Jalur Mangkaluku disebut juga jalur KTT karena merupakan jalan yang dibangun oleh perusahaan Kendari Tunggal Timber (KTT).


Selain itu, perjalanan ke Seko juga bisa menggunakan transportasi udara, dengan pesawat terbang carter yang memuat 8 orang penumpang dan terjadwal dua kali seminggu, setiap hari Selasa dan Kamis. Tapi harus menunggu berhari-hari, bahkan ada dalam hitungan bulan, untuk mendapatkan giliran terbang.


Pada hari Selasa, 25 Juli 2006, kami berempat – Aan Kaharuddin (JURnaL Celebes), Pak Unsar (Yayasan Bumi Sawerigading, Palopo), serta Een dan Yudi (Telapak, Bogor) memulai petualangan. Kami start dari Kecamatan Sabbang sekitar pukul 10.00 Wita, dengan menyewa ojek Rp 300 ribu/ojek sekali jalan.


Tidak semua tukang ojek berani melakukan perjalanan ke Seko. Karena selain masuk dan ke luar hutan, juga harus melewati berbagai rintangan seperti jurang di kiri-kanan jalan, serta melewati jalanan yang sangat tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda dua.


Mengingat medannya yang sulit ditaklukkan, setiap tukang ojek wajib membawa semua perlengkapan vital seperti bensin, pompa, ban, kunci, tali tambang, parang, dan lain-lain, termasuk makanan, untuk berjaga-jaga jika motor rewel atau ada masalah di jalan, misalnya pohon tumbang merintangi jalanan. Karena itu, tukang ojek di sana terkesan seperti bengkel berjalan.


Bagi saya, perjalanan ke Seko-Rampi ini yang ke tiga kalinya. Pertama, dari Sabbang ke Seko, dan yang kedua dari Masamba ke Rampi. Kedua perjalanan tersebut menggunakan jasa ojek. Sedangkan yang ke tiga ini, dari Sabbang ke Seko, kemudian lanjut ke Rampi.


Ketika kami melewati jalan setapak yang hanya bisa dilalui manusia dan binatang, di mana sisi kanan merupakan jurang dan sisi kiri berupa lereng, saya nyaris diterjang kerbau liar. Saat itu, di kejauhan kami melihat ada kerbau berlari kencang ke arah kami karena diburu kerbau lainnya, mungkin kerbau jantan yang lagi birahi.


Saat jarak dengan kerbau sudah semakin dekat, tukang ojek tiba-tiba meminggirkan motornya dan langsung menjatuhkan ke sisi kiri yang merupakan lereng, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Karena takutnya pada kerbau liar tersebut, tukang ojek bergegas merangkak naik untuk mencapai tempat yang agak tinggi, meninggalkan saya yang tertimpa motor.


Karena saya juga merasa terancam bahaya, kekuatan saya rasanya bertambah berlipat-lipat untuk bisa membebaskan diri dari himpitan motor dan menyelamatkan diri dengan menaiki lereng. Setelah keadaan aman, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka terkena knalpot, dan baru saya rasakan sakitnya.


Selama perjalanan, kami terpaksa harus bergantian mendorong, bahkan mengangkat motor, agar bisa jalan. Sebab, sepanjang jalan yang kami lalui dipenuhi karang gunung yang lumayan terjal, di samping tanah merah, pasir, dan lumpur serta menyeberangi 4-5 sungai.


Kondisi tersebut memaksa kami harus beristirahat beberapa kali di pos-pos (gubuk darurat) yang dibangun masyarakat yang kemalaman di perjalanan, baik dalam perjalanan dari Seko ke kota (Sabbang) maupun sebaliknya.


Perjalanan ini memang sangat sulit dan berbahaya, namun kami menikmatinya. Kami pun tak melewatkan kesempatan tersebut dengan merekam semua moment yang kami anggap cocok untuk pembuatan film kami.


Rasa capek dan penat setelah seharian berjibaku menghadapi medan berat, rasanya langsung hilang seketika begitu kami memasuki sebuah perkampungan bernama Kampung Loudang, saat Maghrib tiba. Kampung ini sangat indah, udaranya sejuk dan sangat menyegarkan. Kami masih bisa merasakan bau tanah yang sangat sulit didapatkan di kota-kota besar yang telah tercemar polusi.


Di sana kita juga bisa menjumpai hewan-hewan seperti rusa, kuda, kerbau dan babi hutan. Selain itu, di kampung ini juga terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Sungai tersebut dijadikan tempat mandi dan mencuci oleh masyarakat setempat. Setiap pagi dan sore kita dapat melihat segerombolan orang turun ke sungai untuk mandi dan mencuci.


Di Kampung Loudang, kami menginap di rumah mertua Pak Unsar. Malam itu, setelah membersihkan badan, kami dijamu tuan rumah. Menunya sederhana, hanya nasi dan sayur. Tapi nikmat sekali. Nasinya enak, seperti dicampur santan. Masyarakat di sana mungkin tidak ada yang tidak kenal beras ‘tarone’.


Keesokan harinya, kami mulai melakukan kegiatan pendokumentasian. Pertama-tama, merekam kebiasaan masyarakat setempat menangkap ikan. Untuk mencapai tempat tersebut, kami menyewa ojek karena lokasinya sekitar 60 km dari Kampung Loudang.


Cara menangkap ikan di sana cukup unik. Cara ini dikenal dengan istilah Sammuloku, yang berarti menangkap ikan dengan menyelam. Hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dilakukan dua-tiga orang. Caranya, satu orang membuat panah kecil yang dijadikan alat menangkap, sementara yang satunya lagi memasang pukat. Setelah pukat dipasang, orang yang membuat panah kecil tersebut menyelam di sekeliling pukat untuk membidk mangsanya. Hasilnya lumayan banyak.


Setelah merekam cara menangkap ikan, kami melanjutkan kegiatan pendokumentasian di tempat lain. Kali ini merekam tentang cara beternak kerbau. Masyarakat di sana menyebutnya Murrung.


Pada hari ke tiga di Seko, tepatnya 28 Juli 2006, kami melakukan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat To Badak, Pak Gani. Kami mencoba menggali informasi mengenai hasil bumi dan tambang emas di daerahnya.


Usai wawancara, kami pergi berburu rusa. Untuk mencapai lokasi perburuan, kita harus melakukan perjalanan selama 2 jam. Setelah mempersiapkan segala perlengkapan, termasuk anjing pemburu, kami dan para pemburu bersembunyi dan melakukan pengintaian.


Lama menunggu, belum ada seekor rusa pun yang keluar dari sarangnya. Di saat semangat mulai mengendor karena capek memanggul kamera dalam posisi stand by, tiba-tiba muncul seekor babi hutan dan langsung masuk perangkap. Walaupun bukan yang diharapkan, namun kami tak melewatkan kesempatan tersebut untuk merekamnya. Yah … daripada tidak ada sama sekali. Ibarat pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi.


Dalam perjalanan pulang, kami sempat merekam kebiasaan masyarakat setempat saat memanen kopi, yang dikenal dengan istilah Musange.


Esok harinya, kami mengunjungi tempat pembuatan tikar dari kulit kayu. Cara pembuatan tikar dari kulit kayu, pertama-tama mengupas kulit pohon. Setelah terkupas, kulit dicelupkan ke dalam air, lalu diangkat, kemudian dipukul-pukul secara perlahan –lahan, terus dicelupkan lagi ke dalam air dan dipukul-pukul lagi. Setelah kulit pohon tersebut melebar, selanjutnya dikeringkan, dan jadilah tikar.


Pada 30 Juli 2006, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Eno, sekitar 60 km dari Kampung Loudang. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam. Di sini kami merekam tarian adat masyarakat Seko. Tari-tarian tersebut biasanya diperagakan pada hari-hari tertentu saja, misalnya untuk menyambut tamu kehormatan, pada saat upacara perkawinan, dan hari-hari istimewa lainnya.


Keesokan harinya, kami mengunjungi tempat situs budaya. Di sana terdapat tungku raksasa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, dahulu kala pernah hidup seorang raksasa, dan tungku tersebut adalah alat memasaknya.


Agenda berikutnya ke Kampung Tanete, yang dikenal sebagai tempat pembuatan madu, gula merah, dan alat musik yang terbuat dari bambu. Setelah itu ke Kampung Parahaleang. Perjalanan ditempuh selama setengah hari. Kami melewati hutan belantara, dan terpaksa harus menginap selama 2 hari di dalam hutan.


Setelah selesai mengabadikan kegiatan masyarakat yang mencari ikan dengan cara memancing, pasang jerat dan mengambil rotan di hutan, kami kembali ke kampung Eno untuk merekam kembali tari-tarian adat di sana dan mengambil gambar pandai besi membuat pisau. Selain itu, kami juga merekam cara pembuatan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari rotan seperti keranjang.


Pada 8 Agustus 2006, kami menuju Kampung Singkalong. Di kampung ini terdapat tambang emas yang sempat merisaukan masyarakat karena ada perusahaan asing yang ingin mengelola tambang tersebut. Kami merekam tentang cara mendulang emas.


Selama perjalanan menuju kampung ini, kami merekam pemandangan alam berupa hamparan padang rumput yang sangat luas. Panorama alam Seko yang sangat indah dan masih perawan tersebut mengingatkan saya pada film-film India yang sering diputar di stasiun televisi swasta.
Seketika benak saya dipenuhi bayangan adegan Shah Rukh Khan berdendang di padang luas penuh taman bunga, bersama Kajol dan Ranee Mukherjee, di film Kuch Kuch Hota Hai.


Tum Paas Aaye
Youn Muskuraye
Tumne Najaane Kya
Sapne Dikhae

Abto Meradil
Jaagena Sota Hai
Kya Karoon Ha Eh
Kuch Kuch Hota Hai


Karena begitu takjubnya melihat dan merasakan langsung keindahan alam Seko yang masih alamiah, saya merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Rupanya, dua rekan dari Telapak juga terkagum-kagum.


‘’Bisanya ada padang begitu luas di sini,’’ pujinya. (Bersambung)


Tidak ada komentar: